Selasa, 07 April 2009

Apa itu USG? Apa Berbahaya Bagi Bayi?

Diposting oleh Health Physical

USG atau Ultrasonografi adalah prosedur pemeriksaan yang tidak berbahaya. USG menggunakan gelombang suara tinggi yang dipantulkan ke tubuh untuk memperlihatkan gambaran rahim dan isinya yang memberikan informasi dalam bentuk gambar yang disebut Sonogram yang dapat kita lihat di layar monitor.

USG tidak menggunakan radiasi, jarum suntik, cairan atau obat2an yang dimasukkan kedalam tubuh.

Sehingga Ultrasonografi aman untuk bayi dalam kandungan anda.

USG sudah di gunakan bertahun tahun dan tidak ada kejadian yang menunjukkan bahwa USG menyebabkan gangguan pada ibu ataupun bayi. Tapi untuk mencegah radiasi yang belum dibuktikan ini, sebagian dokter hanya menganjurkan pemeriksaan USG untuk kepentingan kesehatan atau medik saja dan bukan hanya melakukan pemeriksaan USG untuk mengambil print photo bayi anda sebagai photo keluarga saja.[*/InfoIbu]

Berat badan ibu & Kesehatan Bayi

Diposting oleh Health Physical

BERAT badan ibu sebelum hamil dan kenaikan berat badannya selama hamil ternyata dapat berpengaruh terhadap kesehatan serta pertumbuhan janin dalam kandungannya. Mengapa demikian? Kesehatan dan pertumbuhan janin sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibunya. Salah satu faktor penting untuk kesehatan ibu adalah pengaturan berat badan, yang sebaiknya dilakukan sejak si ibu merencanakan kehamilan. Indeks massa tubuh (body mass index) yang normal untuk wanita yaitu antara 19-23. Bila berat badan ibu sebelum hamil adalah terlalu kurus atau terlalu gemuk, maka sebaiknya diatur dahulu agar berat badannya normal. Berikut ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk pengaruh berat badan ibu terhadap kehamilan:
  • Bila berat badan ibu sebelum hamil adalah normal, maka kenaikan berat badan ibu sebaiknya antara 9-12 kg
  • Kalau berat badan sebelumnya adalah berlebih, maka kenaikan berat badannya cukup antara 6-9 kg.
  • Bila sebelum kehamilan berat badan ibu adalah kurang, maka kenaikan berat badan sebaiknya antara 12-15 kg
  • Jika ibu mengandung bayi kembar dua atau lebih, maka kenaikan berat badan selama kehamilan harus lebih banyak lagi, tergantung dari jumlah bayi yang dikandung
  • Ibu sebaiknya tak perlu khawatir bila kenaikan berat badannya selama hamil adalah masih dalam kisaran yang ideal. Kenaikan berat badan tersebut tidak hanya disebabkan oleh timbunan lemak, namun juga akibat proses tumbuh kembang si janin, pertambahan berat rahim, plasenta, volume darah, cairan ketuban, cairan dalam jaringan tubuh ibu, serta membesarnya payudara. Pola kenaikan berat badan ibu selama hamil dapat dilihat sebagai berikut:
  • Selama trimester pertama, biasanya terjadi kenaikan sedikit berat badan sekitar 1-2 kg. Walaupun ibu sering merasa mual dan hilang nafsu makan, berat badan harus tetap naik. Pada trimester ini, organ otak, pancaindera, dan alat kelamin janin sedang dibentuk.
  • Menginjak trimester kedua, nafsu makan ibu biasanya sudah pulih sehingga harus lebih hati-hati dalam mengatur konsumsi makanan. Kenaikan berat badan rata-rata yang ideal pada masa ini adalah 0.35 sampai 0.4 kg per minggu. Kenaikan berat badan akan lebih baik bila terjadi secara perlahan dan kontinyu. Perlu diketahui, kenaikan berat badan yang berlebih atau terlalu cepat dapat menjadi indikasi terjadinya keracunan pada kehamilan dan gangguan diabetes.
  • Konsumsi makanan dengan gizi yang seimbang dan bervariasi sangat dibutuhkan selama masa kehamilan. Jika perkiraan kenaikan berat badan selama hamil adalah sekitar 12,5 kg, maka tubuh ibu membutuhkan tambahan energi sebesar 70.000-80.000 kalori. Pertambahan kalori tersebut umumnya diperlukan pada 20 minggu terakhir masa kehamilan, yaitu ketika pertumbuhan janin berlangsung dengan sangat pesat. Bila 80.000 kalori dibagi ke dalam 40 minggu (280 hari), maka tambahan kalori yang diperlukan oleh calon ibu adalah sekitar 285-300 kalori per hari.
  • Bila berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikan berat badannya selama hamil adalah kurang dari normal, maka si bayi akan berisiko lahir dengan berat badan yang kurang atau berat bayi lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR akan terganggu perkembangan fisik maupun kecerdasannya.
  • Bila berat badan sebelum hamil dan kenaikan berat badannya selama hamil adalah berlebih, maka bayi akan berisiko terhambat pertumbuhannya akibat penyempitan pembuluh darah. Si ibu juga berisiko mengalami komplikasi, baik selama kehamilan maupun persalinan, seperti perdarahan, tekanan darah tinggi, atau keracunan kehamilan (pre-eklampsia). Selain itu, ibu juga akan sulit menghilangkan kelebihan berat badannya setelah melahirkan.

Memelihara Binatang dan Kesehatan Anak

Diposting oleh Health Physical


by lin Eugene Myers, Jr

Benarkah memelihara hewan dapat membuat si kecil belajar tanggung jawab? Bagaimana dengan penyakit yang ditularkan oleh hewan, apakah tidak berbahaya bagi si kecil? Lalu bagaimana jika si kecil suka hewan?

Sebagai orangtua, terkadang kita heran melihat tingkah anak-anak jika sedang bermain dengan binatang kesayangannya. Bahkan ada anak yang menangis tersedu-sedu ketika binatang kesayangannya mati. Ada hubungan yang unik antara anak dan binatang.

Mengapa Suka Hewan?
Barangkali Anda memiliki anak yang suka memelihara hewan tertentu. Padahal Anda sendiri tidak suka. Entah itu kucing, anjing, kelinci, hamster, ayam yang memang sudah biasa dipelihara. Atau bahkan binatang-binatang yang tak lazim seperti ular, iguana, monyet, tikus, bahkan… anak macan.

Selain lucu, bulunya yang halus, bentuk wajahnya yang iut, sebenarnya secara psikologis ada beberapa hal yang membuat anak-anak suka memelihara hewan. Olin Eugene Myers, Jr., seorang psikolog dari Western Washington University, Amerika Serikat mengatakan, ada beberapa faktor yang menentukan interaksi antara anak dengan hewan.

A. Reaksi Positif
Reaksi anak terhadap binatang tergantung respon awal mengenai binatang tersebut. Ini tentu saja akan didapat anak dari lingkungannya. Ketika seorang anak ‘berkenalan’ dengan binatang itu dengan cara positif, misalnya seekor anak kucing yang lucu dan lincah tiba-tiba mendekati anak Anda. Kemudian mereka akrab bercanda, si kucing juga nurut dibelai-belai, maka respon positif telah tertanam pada diri anak Anda. Maka jika anak Anda kemudian berniat memelihara kucing, Anda jangan heran.

Namun ketika kucing tesrebut tiba-tiba galak lalu mencakar anak Anda hingga berdarah, dan anak Anda menangis kesakitan sampai ia ketakutan jika dekat dengan kucing, maka telah terjadi respon negatif. Anak Anda tak akan lagi mau mendekati kucing, apalagi memeliharanya.

Ketika Anda mengajak anak-anak ke kebun binatang, tanpa disadari sebenarnya Anda telah menanamkan ‘kesan’ kepada anak-anak. Padahal mungkin tujuan Anda hanya ingin memperkenalkan binatang pada mereka. Respon positif anak-anak terhadap binatang itulah yang mendorong hatinya untuk mencintai binatang.

B. Tubuh Hewan Unik
Tubuh binatang yang lebih kecil dari tubuh anak, bentuk badannya yang unik, bulu yang halus atau tingkahnya yang lucu membuat anak-anak Anda ‘jatuh cinta’. Secara keseluruhan mereka bisa membelainya, menggendongnya dan menciuminya. Akhirnya anak akan menemukan kesenangan lain. Berbeda jika mereka membelai boneka sekali pun itu boneka binatang.

Semakin mereka merasakan kesenangan dengan membelai tubuh biantang kesayangannya, semakin mereka merasakan ada sesuatu ‘ikatan’ dengan binatang kesayangannya itu. Mereka merasakan keunikan dari binatang itu.

C. Ekspresi Balik
Ketika anak Anda membelai, mencium dan memeluk binatang kesayangannya itu, tentu saja si binatang ikut merasakan betapa ia disayang. Si binatang juga akan memberikan respon balik dengan gerak-geriknya. Ketika ia dibelai-belai, binatang itu akan diam manja. Ketika ia diajak bercanda, ia akan senang meloncat-loncat. Itulah ekspresi balik binatang melalui feeling-nya.

D. Saling Berinteraksi
Ketika seorang anak telah punya kesan positif dan merasa telah mendapatkan ’sesuatu’ dari hewan peliharaannya itu, anak akan menganggap binatang peliharaannya sebagai ‘teman’. Mereka saling berinteraksi satu sama lain. Anak punya rasa kepedulian dan tanggung jawab menjaga binatang kesayangannya itu dan si binatang seolah-olah merasa punya ‘hutang budi’ pada tuannya.

Benarkah Bermanfaat?
Secara psikologis, anak yang memelihara binatang jadi lebih peduli, lebih bertanggung jawab, juga lebih sayang. Tampaknya memelihara binatang ada sisi positifnya. Berdasarkan hasil penelitian, berteman dengan hewan mengajarkan anak tanggung jawab, mendorong tumbuhnya kepedulian, rasa solidaritas, pertemanan, keamanan, kenyamanan dan sarana menyalurkan kasih sayang.

Beberapa anak bahkan menggunakan binatang peliharaannya sebagai teman saat mereka bosan, kesepian, atau ketika sedang sedih. ahkan beberapa negara telah menggunakan binatang sebagai sarana terapi bagi anak-anak yagn sulit menjalani hubungan orang lain. Tapi, kata Myers, sebaiknya tidak memilih hewan-hewan yang tidak lazim seperti ular, iguana atau anak macan, kecuali orangtua memang sudah memeliharanya lebih dulu. Jadi, biarkanlah anak-anak Anda memelihara binatang kesukaannya.

Jika Anak Anda Memelihara Binatang
1. Pastikan bahwa binatang yang akan dipelihara bukan binatang buas dan bebas dari penyakit. Bawalah binatang tersebut ke dokter hewan untuk memastikannya. Secara berkala bawalah binatang tersebut ke dokter hewan untuk memastikan bahwa binatang itu sehat.

2. Ajari anak Anda untuk selalu menjaga kebersihan binatang peliharaannya. termasuk di mana binatang itu mengeluarkan kotoran, makan dan sebagainya.

3. Mintalah anak untuk memberi sendiri makan dan minum binatang kesayangannya. Tegaskah bahwa itulah konsekuensi jika ingin memelihara binatang.

4. Tekankan pada mereka bahwa binatang hanya ‘jembatan’ bagi mereka untuk dapat lebih baik bersosialisasi dengan orang lain

Mengajar Bayi Membaca - Metode Glenn Doman

Diposting oleh Health Physical

Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia dari semua makhluk hidup di dunia ini, cuma manusia yang dapat membaca. Membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup dan dapat dikatakan bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Anak-anak dapat membaca sebuah kata ketika usia mereka satu tahun, sebuah kalimat ketika berusia dua tahun, dan sebuah buku ketika berusia tiga tahun dan mereka menyukainya.

Tahun 1961 satu tim ahli dunia yang terdiri atas, dokter, spesialis membaca, ahli bedah otak dan psikolog mengadakan penelitian “Bagaimana otak anak-anak berkembang?”. Hal ini kemudian berkembang menjadi satu informasi yang mengejutkan mengenai bagaimana anak-anak belajar, apa yang dipelajari anak-anak, dan apa yang bisa dipelajari anak-anak.

Hasil penelitian juga mendapatkan, ternyata anak yang cedera otak-pun dapat membaca dengan baik pada usia tiga tahun atau lebih muda lagi. Jelaslah bahwa ada sesuatu yang salah pada apa yang sedang terjadi, pada anak-anak sehat, jika di usia ini belum bisa membaca.

Penelitian tentang Otak Anak

Bagi otak tidak ada bedanya apakah dia ‘melihat’ atau ‘mendengar’ sesuatu. Otak dapat mengerti keduanya dengan baik. Yang dibutuhkan adalah suara itu cukup kuat dan cukup jelas untuk didengar telinga, dan perkataan itu cukup besar dan cukup jelas untuk dilihat mata sehingga otak dapat menafsirkan. Kalau telinga menerima rangsang suara, baik sepatah kata atau pesan lisan, maka pesan pendengaran ini diuraikan menjadi serentetan impuls-impuls elektrokimia dan diteruskan ke otak yang bisa melihat untuk disusun dan diartikan menjadi kata-kata yang dapat dipahami.

Begitu pula kalau mata melihat sebuah kata atau pesan tertulis. Pesan visual ini diuraikan menjadi serentetan impuls elektrokimia dan diteruskan ke otak yang tidak dapat melihat, untuk disusun kembali dan dipahami. Baik jalur penglihatan maupun jalur pendengaran sama-sama menuju ke otak dimana kedua pesan ditafsirkan otak dengan proses yang sama.

Dua faktor yang sangat penting dalam mengajar anak:

1. Sikap dan pendekatan orang tua
Syarat terpenting adalah, bahwa diantara orang tua dan anak harus ada
pendekatan yang menyenangkan, karena belajar membaca merupakan
permainan yang bagus sekali.

Belajar adalah:
- Hadiah, bukan hukuman
- Permainan yang paling menggairahkan, bukan bekerja
- Bersenang-senang, bukan bersusah payah
- Suatu kehormatan, bukan kehinaan

2. Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat.
Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya.

Bahan yang sesuai:

a. bahan-bahan dibuat dari kertas putih yang agak kaku (karton poster)
b. kata-kata yang dipakai ditulis dengan spidol besar
c. tulisannya harus rapi dan jelas, model hurufnya sederhana dan konsisten

Tahap-tahap mengajar:
TAHAP PERTAMA : (perbedaan penglihatan)
Mengajarkan anak anda membaca dimulai menggunakan hanya lima belas kata saja. Jika anak anda sudah mempelajari 15 kata ini, dia sudah siap untuk melangkah ke perbendaharaan kata-kata lain.

1. Ukuran karton : tinggi 15 cm, panjang 60 cm
2. Ukuran huruf, tinggi 12,5 cm dan lebar 10 cm, serta setiap huruf berjarak
kira-kira 1,25 cm
3. Huruf berwarna merah
4. Gunakan huruf kecil (bukan huruf kapital)
5. Buatlah hanya 15 kata, misal : IBU (UMMI/MAMA/BUNDA), BAPAK
(ABI/PAPA/AYAH)
6. Ke-15 kata-kata pertama harus terdiri dari kata-kata yang paling dikenal dan
paling dekat dengan lingkungannya yaitu nama-nama anggota keluarga,
binatang peliharaan, makanan kesukaan, atau sesuatu yang dianggap penting
untuk diketahui oleh sang anak.

Hari Pertama
Gunakan tempat bagian rumah yang paling sedikit terdapat benda-benda yang dapat mengalihkan perhatian, baik pendengarannya maupun penglihatannya. Misalnya, jangan ada radio yang dibunyikan.
1. Tunjukkan kartu bertuliskan IBU/AYAH atau yang lainnya
2. Jangan sampai ia dapat menjangkaunya
3. Katakan dengan jelas ‘ini bacaannya IBU/AYAH’
4. Jangan jelaskan apa-apa
5. Biarkan dia melihatnya tidak lebih dari 1 detik
6. Tunjukkan 4 kartu lainnya dengan cara yang sama
7. Jangan meminta anak mengulang apa yang anda ucapkan
8. Setelah kata ke-5, peluk, cium dengan hangat dan tunjukkan kasih sayang
dengan cara yang menyolok
9. Ulangi 3 kali dengan jarak paling sedikit 1,5 jam

Hari Kedua
1. Ulangi pelajaran dasar hari pertama 3 kali
2. Tambahkan lima kata baru yang harus diperlihatkan 3 kali sepanjang hari
kedua. Jadi ada 6 pelajaran
3. Jangan lupa menunjukkan rasa bangga anda
4. Jangan lakukan test, belum waktunya !

Hari Ketiga
1. Lakukan seperti hari ke-2
2. Tambahkan lima kata baru seperti hari kedua sehingga menjadi 9 pelajaran

Hari keempat, kelima, keenam ulangi seperti hari ketiga tanpa menambah kata-kata baru.

Hari Ketujuh
Beri kesempatan pada anak untuk memperlihatkan kemajuannya:
1. Pilih kata kesukaannya
2. Tunjukkan kepadanya dan ucapkan denga jelas ‘ini apa?’
3. Hitung dalam hati sampai sepuluh, Jika anak anda mengucapkan, pastikan
anda gembira dan tunjukkan kegembiraan anda Jika anak anda tidak
memberikan jawaban atau salah, katakan dengan gembira apa bunyi kata itu
dan teruskan pelajarannya.

Ancaman
Kebosanan adalah satu-satunya ancaman. Jangan sampai anak menjadi bosan. “Mengajarnya terlalu lambat akan lebih cepat membuatnya bosan daripada mengajarnya terlalu cepat”

Pada tahap pertama ini, dua hal luar biasa telah anda lakukan:
1. Dia sudah melatih indera penglihatan, dan yang lebih penting: dia telah melatih
otaknya cukup baik untuk dapat membedakan bentuk tulisan yang satu dengan
yang lainnya.
2. Dia sudah menguasai salah satu bentuk abstraksi yang paling luar biasa dalam
hidupnya: dia dapat membaca kata-kata. Hanya ada satu lagi abstraksi besar
harus dikuasainya, yaitu huruf-huruf dalam abjad.

TAHAP KEDUA : (kata-kata diri)
Kita mulai mengajarkan anak membaca dengan menggunakan kata-kata ‘diri’ karena anak memang mula-mula mempelajari badannya sendiri.
1. Ukuran karton 12,5 tinggi dan 60 cm panjang
2. Ukuran huruf 10 cm tinggi dan 7,5 cm lebar dengan jarak 1 cm
3. Huruf dan warna seperti tahap pertama
4. Buat 20 kata-kata tentang dirinya, misalnya: tangan kaki gigi jari kuku lutut
mata perut lidah pipi kuping dagu dada leher paha siku hidung jempol rambut
bibir
5. Dari 3 kelompok kata masing-masing 5 kata di tahap awal, ambil
masing-masing 1 kata lama dan tambahkan dengan 1 kata baru di tahap kedua
6. Dari 20 kata baru pada tahap kedua, ambil 10 kata dan jadikan 2 kelompok kata
masing-masing 5 kata

7. Jadi sekarang anda memiliki:
- 3 kelompok kata dari tahap pertama yang sudah ditambah kata-kata baru
- 2 kelompok kata baru dari tahap kedua
- total 5 kelompok kata = 25 kata
8. Lakukan seperti tahap pertama
9. Setelah 5 hari ganti 1 kata dari masing-masing kelompok dengan kata baru,
sehingga anak mempelajari 5 kata baru.
10. Setelah itu setiap hari ganti 1 kata lama dari masing-masing kelompok data
dengan 1 kata baru. Dengan demikian setiap hari anak belajar 5 kata baru
masing-masing satu dalam setiap kelompok kata, dan 5 kata lama diambil
setiap harinya.

TIPS:
1. Usahakan jangan ada 2 kata yang dimulai dengan yang sama secara berurutan,
misalnya ‘lidah’ dengan ‘lutut’
2. Anak-anak usia 6 bulan sudah bisa diajarkan. Lakukan dengan cara yang persis
sama kalau anda mengajarnya berbicara
3. Ingat, membaca bukan berbicara
4. Usaha mengajar bayi membaca dapat membaca dapat mempercepat berbicara
dan memperluas perbendaharaan kata.

TAHAP KETIGA : (kata-kata ‘rumah’)
Sampai tahap ini, baik orang tua maupun anak harus melakukan permainan membaca ini dengan kesenangan dan minat besar. Ingatlah bahwa anda sedang menanamkan cinta belajar dalam diri anak anda, dan kecintaan ini akan berkembang terus sepanjang hidupnya. Lakukan permainan ini dengan gembira dan penuh semangat.
1. Ukuran karton 7,5 cm tinggi dan 30 cm panjang
2. Ukuran huruf 5 cm tinggi dan 3,5 cm lebar dengan jarak lebih dekat
3. Huruf dan warna seperti tahap tahap kedua
4. Terdiri dari nama-nama benda di sekeliling anak serta lebih dari 2 suku kata,
misalnya: kursi, meja, dinding, lampu, pintu, tangga,jendela, dll
5. Gunakan cara pada tahap kedua dengan setiap hari menambah 5 kata baru dari
tahap ke tiga
6. Setelah kata benda, masukkan kata milik, misalnya: piring, gelas,
topi, baju, jeruk, celana,sepatu, dll.
7. Setelah itu masukkan kata perbuatan, misalnya: duduk,berdiri, tertawa,
melompat, membaca, dll
8. Pada tahap kata perbuatan , agar lebih menarik, sambil menunjukkan kata
tersebut, anda praktekkan sambil katakana ‘Ibu melompat’, ‘kakak melompat’,
dsb

TAHAP KEEMPAT :
1. Ukuran kartu 4 cm tinggi dan 20 cm panjang
2. Ukuran huruf 5 cm
3. Huruf kecil, warna hitam
4. Tunjukkan kata demi kata seperti tahap sebelumnya lalu gabungkan misalnya
‘ini’ dan kata ‘bola’ menjadi ‘ini bola’.
5. Lakukan beberapa kata beberapa kali setiap hari.

TAHAP KELIMA : (susunan kata dalam kalimat)
1. Pilihkan buku sederhana dengan syarat :
Perbendaharaan kata tidak lebih dari 150 kata Jumlah kata dalam 1 halaman
tidak lebih dari 15-20 kata
Tinggi huruf tidak kurang dari 5 mm
Sedapat mungkin teks dan gambar terpisah.
Carilah yang mendekati persyaratan tersebut

2. Salinlah kata-kata yang ada setiap halaman tersebut ke dalam satu kartu
kira-kira ukuran 1 kertas A4. Huruf hitam, ukuran tinggi huruf 2,5 cm. Jumlah
kartu ’susunan kata-kata’ sama dengan jumlah halaman buku. Ukuran kartu
harus sama walaupun jumlah kata tidak sama. Sekarang anda sudah
mempunyai kartu-kartu dengan kata-kata yang ada dalam setiap halaman buku
yang akan dibaca anak. Lubangi sisi kartu-kartu untuk dijilid menjadi sebuah
buku yang isinya sama namun ukurannya lebih besar.

3. Bacakan kartu demi kartu pelan-pelan, sehingga anak belajar kalimat demi
kalimat.
4. Bacakan dengan ekspresi sesuai dengan kalimat bacaan.
5. Lakukan secara rutin, minimal 5 kartu sebanyak 3 kali selama 5 hari.
6. Ketika membaca kartu pada hari lainnya, kartu yang lama sebaiknya diulang.
Setelah selesai kartu-kartu dibaca, simpanlah beurutan di dalam sebuah map
atau dibinding deperti buku.
7. Pada saat selesai 1 buku, berilah ijazah yg ditandatangani ibu, yg menyatakan
bahwa pada hari ini, tanggal ini, pada usia anak sekian, telah selesai dibaca
buku ini.

TAHAP KEENAM : (susunan kata dalam kalimat)
Pada tahap ini, anak sudah siap membaca buku yg sebenarnya, karena dia sudah 2 kali melakukan hal itu. Perbedaan ukuran huruf dari 5 cm (Tahap 4), 2,5 cm (Tahap 5) dan 5 mm (Tahap 6 ini) adalah sangat berarti khususnya bagi anak yang masih sangat muda, karena itu juga berarti anda membantu mendewasakan dan memperbaiki indera penglihatannya.

Kunci Keberhasilan
1. Jangan membosankan anak
2. Jangan memaksa anak
3. Jangan tegang
4. Jangan mengajarkan abjad terlebih dahulu
5. Bergembiralah
6. Ciptakan cara baru
7. Jawablah semua pertanyaan anak
8. Berilah buku bacaan yang bermutu

Penutup
Pada dasarnya anak memiliki kemampuan yang luar biasa, khususnya pada usia yg semakin kecil. Hanya diperlukan perhatian, kemauan,ketekunan serta yang utama kasih sayang orangtua untuk membuatnya mampu mengeluarkan potensinya yg luar biasa tsb.

Keinginan orangtua pada umumnya adalah :
1. Menginginkan anak mereka bahagia di dalam hidupnya dengan
menjadikan anak mereka tangguh dan siap bersaing.
2. Untuk itu dibutuhkan anak yg cerdas baik rasional maupun
emosional serta rasa ingin tahu yang besar.
3. Anak dapat diketahui rasa ingin tahunya yang besar dari banyaknya
pertanyaan yg diajukannya.
4. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya, anak harus dibimbing supaya
suka membaca.
5. Agar anak suka membaca, dibutuhkan kemampuan membaca dan sarana
untuk membaca yang tidak lepas dari buku.

Jadi, dengan buku yg merupakan “JENDELA ILMU”, anak akan mampu membuka cakrawala kehidupan masa depannya dengan keceriaan.

“Selamat berkarya untuk anak-anak tercinta !”

Sumber: Buku “Mengajar Bayi Membaca” - Glenn Doman

Bruzzese.E dan kawan-kawan di dalam jurnal Clinical Nutrition menunjukkan bahwa penambahan probiotik dalam susu formula bayi dapat mengurangi resiko infeksi pencernaan dan pernafasan pada bayi sehat pada umur 1 tahun. Peneliti menggunakan data dari 342 bayi selama 12 bulan. Probiotik yang digunakan adalah campuran GOS (Galacto-oligosakarida) dan FOS (Fructo-oligosakarida) dengan jumlah 0.4 g probiotik setiap 100 mL susu formula. Selama 12 bulan peneliti melakukan pengamatan mengenai terjadinya infeksi pencernaan dan pernafasan. Peneliti menemukan bahwa gastroenteritis (infeksi pencernaan) terjadi lebih jarang pada kelompok yang diberi probiotik, hanya 0.12 kejadian per bayi selama 12 bulan. Sedangkan pada bayi yang tidak mendapatkan probiotik memiliki 0.29 kejadian. Jumlah bayi yang mendapatkan prebiotik juga yang terserang infeksi pernafasan bagian atas 17% lebih rendah dibanding dengan jumlah bayi yang tidak mendapatkan prebiotik yang terkena infeksi pernafasan.

Sedia Obat Sebelum Sakit

Diposting oleh Health Physical

Apa yang mesti dilakukan agar anak tidak mudah terserang penyakit? “Ya, tergantung penyakitnya. Agar anak kita tidak terserang batuk-pilek, hindarkan anak dari penderita batuk-pilek,” ujar Dr. Kishore.

Untuk mencegah diare, saran Dr. Kishore, jangan makan jajanan dari luar yang kurang terjamin kebersihannya. Bagi bayi, botol susu harus disterilkan. Yang paling penting menjaga kebersihan. “Yang sering terjadi, dot jatuh dan dipasang kembali karena baby sitter malas mencucinya. Atau, susu sudah berjam-jam diminumkan lagi,” ujarnya. Hal-hal demikian banyak terjadi terutama pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sekali, atau tinggi sekali, yang menyerahkan perawatan anak sepenuhnya pada pengasuh bayi.

Dalam kotak obat keluarga sebaiknya tersedia jenis obat anak, seperti obat turun panas dan antidiare. Juga jenis obat lain berdasarkan kasus demi kasus yang biasa diderita anak. Misalnya, untuk anak yang sering kambuh asmanya, perlu disediakan obat cadangan dengan resep dokter untuk persediaan kalau asmanya timbul.

Dalam pemeliharaan kesehatan anak, pemenuhan gizi berpengaruh terhadap kesehatan dan daya tahan anak. “Kalau gizi baik, risiko anak terkena penyakit berkurang. Kalaupun terkena kuman, karena daya tahan tubuhnya bagus, ia tidak sampai sakit, tapi hanya berupa gejala. Misalnya, diare sebentar kemudian diare itu hilang,” jelas Dr. Kishore.

Daya tahan tubuh, yang dikenal sebagai immunoglobulin berasal dari protein. Kalau tidak ada protein, tidak akan terbentuk faktor daya tahan tubuh. “Jadi, ada korelasi langsung antara gizi dan daya tahan tubuh. Semakin buruk gizinya, semakin jelek daya tahan tubuhnya, semakin sering terinfeksi, semakin turun nafsu makannya, dan semakin turun lagi daya tahan tubuhnya. Semua menjadi seperti lingkaran setan,” tutur Dr. Kishore. Itulah pentingnya dilakukan imunisasi pada anak.

“Menu ideal untuk bayi dan anak balita adalah yang seimbang. Mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan anak,” katanya.

Yang pasti, makanan untuk balita harus cukup energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur. Semua gizi esensial harus cukup. Kebutuhan energi bayi dan anak relatif lebih besar daripada orang dewasa, karena pertumbuhannya yang pesat. Demikian pula kebutuhan protein balita relatif lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Protein merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, yakni untuk pertumbuhan dan pembentukan protein serum, hemoglobin, enzim, dan antibodi. Juga untuk menggantikan sel-sel yang rusak, memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh dan sumber energi.

“ASI (Air Susu Ibu) tetap merupakan yang paling penting bagi bayi dan anak balita,” tegas Dr. Kishore. Selain penting selama masa anak-anak, ASI juga sebagai makanan utama bayi. “Di samping itu juga murah, aman, higienis, dan sangat membantu pertumbuhan bayi,” tegasnya.

Produksi ASI sampai hari kelima, yang disebut kolostrum (cairan kental kekuningan), sangat baik bagi bayi. Ia mengandung banyak antibodi, protein, mineral, dan vitamin A. Yang jelas, kata Kishore, ASI merupakan makanan terbaik yang tak tergantikan oleh segala bentuk makanan lain, baik susu formula, food supplement, ataupun suplemen vitamin. Tetapi, susu formula diperlukan untuk bayi-bayi yang tidak mendapatkan cukup ASI. Misalnya, ketika ibu sakit dan produksi ASI tidak mencukupi.

Jadi, bukan berarti anak balita tak boleh sama sekali memakai susu formula atau PASI (pengganti air susu ibu). “Kalau ASI memang tidak cukup, ya harus ditambah susu formula. Tapi kalau cukup, berikan ASI selama minimal empat bulan, yang dikenal sebagai pemberian ASI eksklusif, tanpa makanan tambahan,” jelas Kishore.

Dalam jumlah cukup, ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 3 - 4 bulan pertama. Setelah empat bulan, bayi perlu menu pelengkap atau tambahan (selain ASI atau PASI) karena kebutuhan gizi bayi meningkat, dan tidak seluruhnya dapat dipenuhi ASI. Tapi bukan berarti pemberian ASI dihentikan. Bahkan ASI dianjurkan tetap diberikan sampai anak berusia dua tahun. Tentu saja, kalau ASI masih diproduksi.

Dalam susu formula sudah terdapat asam amino esensial, asam lemak tak jenuh esensial, dan vitamin untuk kebutuhan sehari-hari. “Jadi, nggak perlu tambahan. Tambahan vitamin baru diberikan kalau ada gejala defisiensi vitamin. Atau, ketika muncul tanda-tanda malas makan, vitamin diberikan untuk merangsang nafsu makan anak,” tuturnya.

Kalau susu formula diberikan sesuai kebutuhan, defisiensi tak akan terjadi. Bahkan, kalau sudah memperoleh menu makanan seimbang, tanpa susu formula pun anak tidak perlu lagi vitamin tambahan. Karena dalam menu yang seimbang itu sudah terdapat vitamin-vitamin yang dibutuhkan tubuh. (A. Hery Suyono / IntiSari)

Diposting oleh Health Physical

Diposting oleh Health Physical

Alergi Hingga Gondong

Diposting oleh Health Physical

Yang juga sering diderita anak-anak adalah alergi, dan yang paling sering alergi saluran pernapasan. Menurut dr. Anies, penyebabnya bisa macam-macam. Gelaja umumnya sama, yakni bersin-bersin, mata berair, hidung tersumbat, ingusan, dan gatal. Anak biasanya menggaruk-garuk hidungnya dengan punggung tangannya.

Bila sedang terserang, disarankan anak dihindarkan dari pencetusnya. Kalau pencetusnya debu, seisi kamarnya harus bebas debu dan diusahakan tidak lembap. Tirai, karpet, dan sejenisnya disingkirkan.

Gangguan pernapasan lainnya adalah asma. Pencetusnya bisa karena pilek dan selesma, terlalu banyak bergerak, udara dingin, perubahan emosi, asap rokok, perubahan cuaca, dan alergi (udara, debu rumah, bulu binatang, makanan, dsb.). Namun, yang paling sering ialah alergi. Ada kalanya gabungan beberapa pencetus asma dapat menimbulkan serangan. Misalnya, ketika sedang berlari-lari anak tidak terserang asma. Tetapi kalau berlari-lari saat cuaca dingin, serangan asma timbul.

Ketika terserang asma, anak diberi obat yang diresepkan dokter. Jika anak sulit bernapas sampai tak mampu menelan makanan, bibir dan lidah kebiruan, segera saja hubungi dokter.

Obat asma sebenarnya bersifat sementara. Kalau pencetusnya ada, sesak napas akan berulang. Jadi, langkah pencegahan terbaik, bebaskan anak dari segala pencetusnya.

Selain itu, anak-anak sering tak luput dari serangan batuk, yang juga merupakan gejala suatu penyakit. Misalnya karena gangguan pada saluran pernapasan. Meski demikian, menurut dr. Anies, batuk yang berlebihan bisa sangat mengganggu, bahkan mengakibatkan berbagai komplikasi.

Beberapa penyebab batuk menahun dan berulang misalnya bronkitis atau radang tenggorokan, asma, kelainan paru-paru menahun, masuknya benda asing atau makanan ke saluran napas, dan kelainan bawaan pada saluran napas. Namun, bisa juga karena gangguan psikologis, semisal setelah kelahiran adik baru.

Keluhan batuk perlu disampaikan ke dokter, apakah karena perubahan cuaca pagi, malam, atau sepanjang hari. Sewaktu duduk, apakah si kecil mengeluarkan dahak atau tidak. Perlu disampaikan pula asal mula, ciri-ciri batuk, untuk mempermudah diagnosis dan pengobatannya.

Batuk rejan merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas, tepatnya pada batang tenggorokan. Penyebabnya kuman Hemophilus pertussis. Batuk rejan yang juga dikenal sebagai “batuk seratus hari” atau kinkhoest berlangsung selama dua bulan lebih, kalau tidak diobati dengan baik. Gejalanya mirip influenza, yaitu batuk dan pilek ringan serta menurunnya nafsu makan, yang berlangsung kira-kira 1 - 2 minggu.

Bayi dan balita, menurut dr. Anies, termasuk kelompok yang paling sering menderita batuk rejan. Jika batuk ini tak diobati dengan baik, dikhawatirkan akan terjadi komplikasi. Agar tidak tertular, jauhkan anak dari penderita batuk rejan. Pencegahan utama, tulis dr. Anies, adalah pemberian vaksinasi DPT sebanyak tiga kali. Suntikan ulangan diberikan satu tahun setelah suntikan dasar ketiga dilakukan. Vaksinasi DPT yang pertama telah dianjurkan bagi bayi yang berusia tiga bulan.

Influenza sebenarnya bukan penyakit berbahaya. Disebabkan sejenis virus, penyakit ini umumnya menyerang sebagai wabah dan akan berlangsung selama 3 - 4 hari. Jarang menimbulkan komplikasi, sekalipun disertai demam tinggi. Namun, kalau daya tahan tubuh penderita menurun, maka infeksi sekunder, seperti pneumonia, bronkitis, infeksi telinga atau sinusitis, dapat muncul. Jika ini terjadi, anak segera dibawa ke dokter.

Untuk mengatasinya, anak perlu cukup istirahat dan diberi cukup cairan. Sari buah atau air bisa untuk mengganti cairan yang hilang karena berkeringat. Kopi, teh, dan susu tidak dianjurkan. Setiap tiga atau empat jam sekali, suhu tubuh anak diperiksa. Jika suhu naik mencapai lebih dari 38oC dan tidak turun dalam waktu 36 jam, segera bawa ke dokter.

Anak-anak pun sering menderita selesma dan pilek, lebih-lebih bila daya tahan tubuh anak kurang baik. Anak yang mengalami pilek akibat virus ini perlu diajari mengeluarkan lendir dalam hidungnya untuk mencegah terjadinya penumpukan lendir yang dapat mengganggu organ lain, misalnya telinga.

Dalam kondisi seperti ini, anak perlu banyak istirahat dan makan menu bergizi. Sari buah segar baik untuk penderita penyakit ini. Bila suhu tubuh meningkat, anak dapat diberi obat penurun panas atau kompres dingin untuk mencegah kemungkinan timbulnya kejang.

Gondong juga kerap diderita anak-anak. Penyebabnya sejenis virus yang menyerang kelenjar ludah, yaitu parotid kelenjar ludah besar di depan telinga. Sering pula terjadi pada kelenjar di bawah rahang dan biasanya kedua sisi yang terkena.

Beristirahat di tempat tidur dapat mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tidak berlaku pantangan makanan dan minuman, tapi makanan yang lunak dan mudah dicerna sangat dianjurkan. Makanan seperti agar-agar, serikaya, sup kaldu, dan sayuran yang dihaluskan, baik bagi penderita gondong. Perlu cukup minum untuk menggantikan cairan yang keluar melalui keringat.

Dokter biasanya memberikan obat penurun panas dan penghilang rasa sakit yang diminumkan selama gejala penyakit masih ada. Bila anak merasa kepala maupun buah zakarnya sakit, perut dan daerah kemaluan terasa nyeri, segera dibawa ke dokter.

Senin, 06 April 2009

Air Tajin Untuk Diare

Diposting oleh Health Physical

Diare yang disertai berkurangnya cairan tubuh (dehidrasi), batuk disertai sesak napas, gejala ke arah asma meskipun bukan asma, atau infeksi saluran napas bagian bawah, dan demam berdarah, menurut Kishore, perlu mendapat perawatan khusus.

Penyebab diare umumnya makanan. Bisa karena keracunan makanan atau karena kuman dalam makanan. Kalau makanannya beracun, gejala utamanya muntah, baru diikuti diare. Kalau karena kuman pada makanan, biasanya diare dulu baru kemudian muntah.

Dalam bukunya, dr. Anies menyebutkan, diare merupakan keadaan gawat darurat sehingga harus segera ditanggulangi sebelum kondisi dehidrasi terjadi, yaitu pertama-tama dengan memberikan banyak minum. Pemberian susu formula dan jus buah dihentikan sementara. Namun, ASI tetap dilanjutkan.

Bila diare terjadi berulang kali, anak akan kehilangan banyak cairan, bahkan sejumlah mineral penting, seperti sodium, potasium, dan klorida ikut terbuang. Bila berkelanjutan, bisa terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh sehingga timbul dehidrasi. Kondisi dehdarasi inilah yang paling dikhawatirkan meski diare pada dasarnya akan sembuh sendiri.

Tanda-tanda dehidrasi antara lain anak menangis tanpa air mata, mulut dan bibir kering, selalu merasa haus. Air seni keluar sedikit dan berwarna gelap, ada kalanya tidak keluar sama sekali. Juga, mata cekung atau terbenam. Pada bayi tanda dehidrasi bisa dilihat lewat ubun-ubun yang menjadi cekung. Juga anak mengantuk, kulit pucat atau kekenyalan tubuh berkurang, dan bekas cubitan tidak cepat kembali normal.

Untuk mengatasinya, anak perlu diberi cairan sebanyak mungkin. “Tidak harus larutan oralit. Bisa berupa teh manis, air gula garam, jus, sup. Air tajin justru cukup efektif bagi bayi untuk mengatasi diare. Juga jauh lebih baik dibandingkan dengan oralit karena tajin mengandung glukosa polimer yang mudah diserap,” jelas Kishore.

Larutan gula garam dibuat dengan perbandingan dua sendok teh gula pasir dan setengah sendok teh garam untuk segelas air putih. Larutan ini, menurut dr. Anies, diberikan sedikitnya setengah gelas tiap kali anak muntah atau buang air besar. Bisa juga diberikan satu sendok makan setiap lima menit, sampai anak dapat buang air kecil secara normal.

Air tajin selain cepat dicerna, juga mengandung kadar glukosa cukup tinggi, yang akan mempermudah penyerapan elektrolit. Selain itu dua macam poliglukosa dalam tepung tajin dapat menyebabkan feses lebih padat. Keuntungan lain air tajin adalah adanya kandungan proteinnya, yaitu 7 - 10 %. Sedangkan garam oralit tidak mengandung protein. Penggunaan air tajin sebagai “obat diare”, menurut dr. Anies, tidak berbahaya untuk bayi sekalipun.

Balita , Penyakit dan Pengobatannya

Diposting oleh Health Physical

Beberapa penyakit yang umum diderita anak hampir dipastikan pada satu saat menyerang anak kita. Oleh sebab itu gejala penyakit dan cara penanganannya perlu dikenali. Penanganan juga bukan hanya membantu penyembuhan, namun juga dapat mencegah timbulnya komplikasi lebih jauh.

Penyakit yang sering diderita bayi dan balita, menurut Dr. Kishore R.J., dokter spesialis anak yang berpraktik di Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina di Jatinegara, Jakarta, antara lain, demam, infeksi saluran napas, dan diare. “Tapi yang sering membuat orang tua segera membawa anaknya berobat adalah demam dan diare. Kalau batuk-pilek biasanya masih bisa ditunda,” tuturnya.

Demam memang bukan penyakit, tapi gejala suatu penyakit. Semisal karena batuk dan pilek, radang tenggorokan, diare, infeksi lain pada saluran pencernaan, atau infeksi saluran napas. Dalam buku Mengatasi Gangguan Kesehatan pada Anak-Anak, karangan dr. Anies dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, kenaikan suhu tubuh juga sering terjadi saat tumbuh gigi pertama. Suhu tubuh juga akan meninggi sehabis memperoleh imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus), namun hanya berlangsung kira-kira 24 jam.

Anak dikatakan demam, bila suhu tubuhnya di atas 37,5oC. Kalau itu yang terjadi, tidurkan anak dalam ruang ber-AC atau berkipas angin, kalau ada. “Kenakan pakaian yang tipis. Jangan diselimuti dengan selimut tebal - kecuali si anak menggigil - karena justru akan meningkatkan suhu tubuh,” jelas Kishore.

Adalah bijaksana kalau di rumah selalu tersedia obat turun panas sebelum anak dibawa ke dokter. Parasetamol biasa dipakai dan aman untuk anak dan bayi. Selain obat turun panas, dr. Anies menyarankan agar anak diberi banyak minum ketika terserang demam. Boleh air putih, susu, air jeruk, sari buah, atau kaldu hangat. Dengan begitu anak akan mudah berkeringat sehingga suhu tubuh menurun. Seka keringat pada tubuhnya dengan handuk basah, bedaki seluruh tubuh, dan gantilah pakaiannya dengan yang kering supaya merasa segar.

Untuk menurunkan suhu tubuh bisa dibantu dengan mengompres kening dengan lap atau handuk basah. Selama suhu tubuhnya masih tinggi, kompres tetap perlu. Upaya menurunkan suhu tubuh ini perlu untuk mencegah terjadinya kejang-kejang atau setip.

Kebutuhan Gizi & Kecerdasan Anak

Diposting oleh Health Physical

Penelitian membuktikan ada keterkaitan antara tubuh pendek dan tingkat kecerdasan. Bila sejak awal sudah tidak ada keseimbangan berat dan tinggi badan, maka akan berpengaruh pada pembentukan otak. Karena itu, kebutuhan gizi bayi sejak janin sampai usia lima tahun harus terpenuhi secara baik. Kepala Seksi Standardisasi, Subdit Gizi Mikro, Direktorat Gizi pada Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes dr Atmarita menegaskan hal tersebut di Jakarta, kemarin, di sela-sela Kongres Nasional XII dan temu ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) yang berlangsung hingga Rabu (10/7).

Menurut Atmarita, anak yang perkembangannya sangat lambat disebabkan oleh pembentukan otak maupun tubuhnya tidak baik akibat gizinya buruk. “Berarti hal paling penting adalah pemenuhan gizi bayi sejak dalam kandungan sampai berusia lima tahun, dan bila tidak terpenuhi, pertumbuhan otak dan tubuhnya tidak bagus. Anak dengan tubuh pendek, ia mengemukakan, berarti status gizi pada masa lalunya sudah kronis,” jelas Atmarita. Namun begitu, lanjutnya, sampai usia 18 tahun pun asupan gizi masih penting untuk pertumbuhan fisik anak. Jadi jika tubuh seseorang kurus, Atmarita menilai, hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi pada saat itu.

Bersama rekannya, dr Robert L Tiden, pakar gizi tersebut menganalisis masalah gizi di perkotaan yang dikaitkan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Atmarita mengatakan, 62% lebih anak di perkotaan memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di pedesaan hanya 49%. Maka disimpulkan bahwa anak di perkotaan memiliki keadaan gizi lebih baik dibanding anak di pedesaan. Meski demikian, obesitas (gemuk sekali) pada anak di perkotaan cenderung lebih tinggi dibanding anak di pedesaan. Cuma, masalah itu mulai meningkat bukan saja di perkotaan, melainkan juga di pedesaan.

Atas dasar tersebut, Atmarita menegaskan, program perbaikan gizi sekarang harus diubah dengan memerhatikan faktor yang terkait dengan pola hidup penduduk di perkotaan maupun pedesaan. Sebelumnya, Menkes Achmad Sujudi dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Staf Ahli Menkes Bidang Desentralisasi dan Kelembagaan Dini Latief merasa prihatin karena proporsi anak pendek di Indonesia masih cukup tinggi. “Saya yakin, para ahli gizi mengetahui situasi ini karena di tiap wilayah telah difasilitasi dengan pemantauan status gizi,” ulasnya.

Ia menambahkan sudah banyak penelitian yang menyimpulkan pentingnya gizi untuk meningkatkan kemampuan belajar dan mengikuti pendidikan sampai tingkat tertinggi. Menkes mengutip pula sejumlah studi di Filipina, Jamaika, dan negara lainnya yang membuktikan, adanya hubungan yang sangat bermakna antara tinggi badan dan kemampuan belajar. Bahkan, ujarnya, dihasilkan bahwa pemberian makanan tambahan pada anak bertubuh pendek berusia 9-24 bulan akan mampu meningkatkan kemampuan belajar anak ketika berusia 7-8 tahun. Dibuktikan pula dari beberapa studi bidang ekonomi di Ghana maupun Pakistan mengenai pentingnya gizi untuk mendukung pembangunan. “Malah dengan menurunkan prevalensi anak pendek sebesar 10%, akan dapat meningkatkan 2%-10% proporsi anak yang mendaftar ke sekolah.”

Minggu, 05 April 2009

Pendidikan di Finlandia terbaik di Dunia

Diposting oleh Health Physical

Oleh: Andri Aji Saputro

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki
peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu, tidak mengapa
karena memang banyak yang tidak tahu bahwa peringkat pertama untuk
kualitas pendidikan adalah Finlandia. Kualitas pendidikan di negara dengan
ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM
dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua
guru di seluruh dunia.

Peringkat I dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei
internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan
nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga
Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi
juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.
Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa
kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia? Dalam masalah anggaran
pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan
beberapa negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar,
memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau
memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia
mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan
negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru
lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea,
ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam
perminggu

Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada
kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan
kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri
adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka
tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru
mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari
7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya
ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan
kedokteran! Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh
siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan
kualitas seadanya pula.

Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang
berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru
dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas
untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum
yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang
mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan
evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas
pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang
menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita
cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di
Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur
dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk
mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga
lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!
Inimembantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka
sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan
kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih
bebas.Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari
sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika
mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar
apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini
guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah
seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan
fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan
dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.

Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang
membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di
Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan
yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai
kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani
masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi
setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai,
umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu;
berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu
untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka.
Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal
tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan
menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan
kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan
nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada
sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap
dirinya masing-masing.

Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir
siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem
pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang
tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada
keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam
mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang
tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang
sangat bertanggungjawab.

apakah Indonesia bisa mencontoh....... harusnya bisa, masa yang bisa dicontoh cuma
sinetron, vcd bajakan, barang bermerek palsu

Coba contoh ini...... apakah bisa.......... harapan selalu ada

Oleh: Khaerudin

A. Pendahuluan
TERMAKTUBNYA badan hukum pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dalam Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi pro dan kontra di kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan di tanah air.
Kebijakan pemerintah untuk menyeragamkan bentuk hukum penyelenggara pendidikan dimaksudkan agar pendidikan tidak dijadikan ladang usaha dan bisnis untuk memperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya penyelenggaraan pendidikan haruslah turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi pertanyaan, apakah kebijakan tersebut merupakan solusi yang efektif dalam dunia pendidikan?
Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) memang belum ditetapkan. Akan tetapi, sebagian masyarakat yang telah membaca draft RUU tersebut menjadi pesimistis bahwa pembentukan BHP sebagai pelaksana dan penyelenggara pendidikan menjadi jalan keluar yang efektif dan komprehensif untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan nasional, mengingat dunia pendidikan kini sudah pada puncak kemerosotannya.
Di dalam Pasal 2 draf RUU BHP memang disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP sedangkan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat dapat berbentuk badan hukum pendidikan.
Kata dapat sengaja dicetak miring untuk menegaskan bahwa memang yang wajib berbentuk badan hukum pendidikan adalah satuan pendidikan tinggi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pendidikan sehingga terwujud kemandirian serta otonomi pada pendidikan tinggi yang pada akhirnya berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas dan mobilitas.
Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat, yang berbunyi: “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Selain itu, Ayat (4) pasal tersebut menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dibukanya kesempatan masyarakat umum untuk turut serta menyelenggarakan pendidikan memang membawa konsekuensi positif dan negatif. Pengaturan yang membatasi privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah sepatutnya menjadi fokus perhatian kita semua.

B. Persoalan Pendidikan Tinggi
Di perguruan tinggi, konsep otonomi sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.
Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.
Konsep BHP secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis menjadi “dua sahabat” baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi.
Padahal, secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa, berkepribadian handal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Masalah lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi?
Di kebanyakan negara, University Cooperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi aktivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata.
Konsekwensinya, uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi harus dipikul mahasiswa. Penerimaan mahasiswa jalur “patas” menjadi pilihan banyak universitas. Fakta menunjukkan, meskipun pemerintah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih mahal. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi sedikit mendapat pemasukan?
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikan tentang dunia pendidikan kita. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.
Rencana pemerintah membuat Badan Hukum Pendidikan (BHP) menuai reaksi keras dari masyarakat. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-prinsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk.
Di sisi lain, BHP dimaksudkan agar mampu meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan, seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Apakah BHP mampu memajukan pendidikan bangsa ini atau sebaliknya?
Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan. Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri.
Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukakan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri. Namun, model yang ada dalam RUU BHP mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ketidakjelasan sikap pemerintah, meski Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan. RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva. Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan. Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting. Kedua, belum ada program yang jelas.
Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut. Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan. Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis. Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis di korupsi.
Kewajiban pemerintah? Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

C. BHP: privatisasi atau kapitalisasi
Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang bisa “membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Dampak yang langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warga negara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Di samping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Istilah Dirjen Dikti bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah. Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.
Privatisasi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini bisa menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar biaya kuliah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mahal. Alhasil, apabila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari universitas “ecek-ecek”. Dampak nyata dari kebijakan privatisasi PTN adalah merosotnya mutu pendidikan tinggi negeri karena dasar penerimaan mahasiswa baru tidak murni tes, tetapi tawar menawar modal yang disetorkan. Lama-kelamaan PTN-PTN terkemuka dihuni orang-orang di bawah standar, tetapi mampu membayar sumbangan besar. Hal itu akan kian memarjinalkan kaum miskin dari akses pendidikan tinggi yang bermutu.
BHP adalah upaya pengalihan tanggungjawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika RUU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah terlanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Akibat industrialisasi, hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. Dewasa ini penyelenggaraan PT dijauhkan dari diskursus perubahan sosial (Giroux, 2001) dan lebih terfokus melayani secara pragmatis kebutuhan perkembangan ekonomi. Ini membuat pengelola PT tak konsisten. Dampak lebih buruk dari privatisasi PTN adalah hilangnya solidaritas sosial di masa datang. Apabila seseorang masuk fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta, bahkan Rp 1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka untuk kuliah cepat kembali. Maka seharusnya ada peninjauan kembali terhadap RUU BHP sehingga perguruan tinggi, khususnya PTN, menjalankan fungsinya sebagai kampus kerakyatan yang dapat diakses orang miskin. Karena jelas ketika kita bercermin pada pengalaman di empat PTN terkemuka yang proses privatisasinya merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perlu ada suatu pemikiran untuk membangun dan mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi berkualitas. Pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tak mampu dan tak sanggup membayar uang masuk yang mahal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

D. Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi
Peranan perguruan tinggi (PT) sangat dominan karena paling diharapkan oleh masyarakat menjadi motor perubahan. Inovasi teknologi seharusnya datang dari institusi itu, namun sampai saat ini kita menyadari bahwa PT di Indonesia belum mampu diharapkan. Apalagi sebagai motor perubahan, untuk mengejar perubahan pun masih terlalu berat.
Perguruan Tinggi masih banyak dihadapkan pada masalah internal terutama yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, kapasitas, budaya akademik dan manajemen pendidikan. Diperparah lagi dengan kendala dana dan rigiditas penggunaannya. Dinamika perubahan eksternal ternyata lebih banyak menimbulkan kendala bagi pendidikan tinggi daripada peluang.
Perubahan perundang-undangan baik yang secara langsung berkaitan dengan sistem pendidikan maupun yang tidak langsung mempengaruhi kinerja. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional seharusnya memberikan peluang yang sangat luas bagi kebebasan akademik dan pengembangan profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Namun kendala utama adalah pada SDM, budaya akademik dan keterbatasan dana.
Sebagaimana institusi pemerintah yang lain, PT negeri dalam pengelolaan keuangannya harus mengikuti sistem pengelolaan keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002. Berdasarkan sistem pengelolaan keuangan, yang walaupun tujuannya sangat baik, yaitu dalam rangka transparansi pengelolaan, menimbulkan kesulitan yang sangat berarti bagi pendidikan tinggi. Hal itu karena sering tidak match dengan kegiatan operasional pendidikan tinggi yang memerlukan sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Oleh karenanya diperlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu menjamin fleksibilitas perguruan tinggi, agar perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang sangat dinamis dan cenderung turbelensi.
Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) menawarkan solusi akan fleksibilitas tersebut. Apabila PT sudah menjadi badan hukum, maka perguruan tinggi diberi wewenang untuk menggali sumber- sumber dana secara lebih fleksibel, demikian juga penggunaannya. Banyak pihak yang mengartikan BHP dengan kemandirian dalam arti sempit. Banyak orang mengartikan dengan BHP, perguruan tinggi harus mampu self financing.
Seluruh lembaga yang ada di PT tersebut diarahkan untuk mampu menghasilkan uang untuk pengembangan institusi. Sering diartikan juga bahwa setelah BHP, pemerintah tidak lagi banyak memberikan subsidi lagi sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan beban SPP mahasiswa. Sebetulnya hal tersebut tidak seluruhnya benar. Jadi walaupun PT sudah menyatakan menjadi BHP, subsidi pemerintah tetap akan diberikan.
Bahkan untuk dunia pendidikan sesuai dengan amanat UUD, anggaran pendidikan secara bertahap akan naik sampai 20 % dari APBN. Demikian juga untuk Pemerintah Daerah, nantinya juga secara bertahap akan ada alokasi APBD untuk dunia pendidikan sampai 20 %. Pertanyaannya adalah mengapa Banyak Perguruan Tinggi yang seolah-olah menunda untuk menjadi BHP.
Beberapa hal memang harus dipertimbangkan secara masak apabila kita akan BHP. Terutama yang berkaitan dengan masalah SDM dan kultur akademik. Karena dalam BHP ada perubahan yang sangat mendasar yang harus diterima oleh komponen-komponen stake - holder dari PT. Misalnya nanti akan ada Wali Amanah yang mempunyai kewenanganan untuk merumuskan arah kebijakan yang selama ini diambil oleh Senat . Oleh karena itu nantinya tidak semua Guru Besar otomatis menjadi Senat Akademik Perguruan Tinggi.
Apabila sudah menjadi BHP, diperlukan juga kesiapan untuk menerima orang luar sebagai pengelola. Kesiapan unit-unit (baik fakultas maupun unit-lain di lingkungan uiversitas) untuk responsif terhadap dinamika pasar. Hal ini mengingat keterbatasan kemampuan uiversitas untuk melakukan subsidi silang.
BHP juga memerlukan kesiapan lembaga (walaupun tidak seluruhnya) untuk tidak selalu menjadi cost centre.Kalau bisa justru menjadi profit centre. Persiapan inilah terutama yang harus dilakukan agar PT dapat menjadi BHP secara baik.
Di samping itu ada persyaratan-persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya persyaratan administrasi, harus mampu melakukan identifikasi aset yang dimiliki dan sebagainya. Kontroversi dan perdebatan tentang rencana perubahan kelembagaan universitas atau pendidikan tinggi umumnya menjadi badan hukum pendidikan (BHP) masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan kelembagaan universitas menjadi BHP telah dirumuskan dan dibahas di kalangan perguruan tinggi, maupun kalangan lainnya, khususnya DPR. Tetapi, tampaknya, kian dikaji kian meningkat pula kontroversi tersebut.
Kalangan penentang RUU BHP mencemaskan perubahan perguruan tinggi menjadi BHP sebagai kecenderungan lebih lanjut dari komodifikasi dan komersialisasi pendidikan. Kecemasan yang berlanjut menjadi penentangan terhadap konsep BHP itu pada dasarnya bersumber dari pengamatan kalangan publik atas pengalaman beberapa universitas negeri yang sejak tahun 2000 berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Kini ada tujuh perguruan tinggi negeri yang telah menjadi BHMN: UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU, dan terakhir Universitas Airlangga.
Meski niat dan tujuan perubahan universitas negeri tersebut menjadi BHMN, antara lain, adalah untuk membuat mereka menjadi lebih otonom dalam berbagai aspek pengelolaannya, tetapi apa yang dilihat publik adalah kian meningkatnya berbagai pembiayaan untuk belajar di perguruan tinggi negeri BHMN, khususnya. Karena itulah, banyak kalangan publik melihat bahwa perubahan tersebut tidak lain hanyalah komodifikasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, khususnya yang diselenggarakan negara melalui perguruan tinggi negeri.
Kecenderungan pendidikan tinggi menjadi sebuah komoditas yang mencakup proses komersialisasi dan bahkan ‘marketization’ pada dasarnya bertentangan dengan gagasan, wacana, dan konsep tentang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai sebuah public good, kebajikan publik. Pendidikan tinggi khususnya dalam konteks sebagai sebuah public good memang bertugas bukan hanya untuk melaksanakan proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi juga membentuk kepribadian dan watak anak didik dan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good bisa terlihat antara lain dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, pendidikan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan guna mencapai tingkat dan harkat kehidupan lebih baik. Lebih jauh, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan semangat patriotisme dan kebangsaan, cinta Tanah Air, solidaritas sosial, dan orientasi masa depan. Begitu luhur dan mulianya; pendidikan sebagai public good tidak hanya bermanfaat bagi individu-individu, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Universitas di Tanah Air sebagai public good terlihat dari tugas pokoknya yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sehingga para lulusannya dapat menjadi SDM yang unggul. Dan universitas lebih-lebih lagi menjadi public good ketika ia juga diharapkan menjadi kekuatan moral dalam mendukung pembangunan nasional.
Karena itu, sebagai public good semestinyalah pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi tanggung jawab negara, tidak hanya dari segi kurikulum, tetapi juga dalam pembiayaannya. Masih dalam kerangka berpikir itu, negara seharusnya tidak membiarkan public good menjadi komoditas, dan melepaskannya kepada hukum pasar yang cenderung membuatnya menjadi entitas swasta (private entity) belaka. Proses-proses ini tidak lain hanya membawa pendidikan tinggi ke arah marketization dan komodifikasi.
Inilah keprihatinan publik. Dan, keprihatinan tersebut tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di hampir seluruh kawasan dunia. Gejala transisi pendidikan tinggi sebagai public good menjadi private entity yang melibatkan proses marketization dan komodifikasi juga telah lebih dahulu dan kini sedang dan terus berlangsung semakin lebih intens di berbagai penjuru dunia.
Dalam Senior Seminar yang diselenggarakan East-West Center, Honolulu, Hawaii, pada 6-11 September 2006. Senior Seminar yang bertajuk ”The Tension between Education as a Public Good and Education as a Private Commodity” merupakan bagian dari The International Forum for Education 2020 East-West Center, untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan dalam beberapa dasawarsa mendatang. Pengalaman pendidikan tinggi Indonesia dalam transisi seperti itu, kompleksitas dalam dinamika pendidikan tinggi di berbagai tempat di muka bumi ini. Di tengah kompleksitas itu, satu hal kelihatannya sulit dielakkan; universitas tetap mengemban amanah sebagai public good. Universitas boleh saja menjadi milik pemerintah maupun swasta, tetapi misi dan tujuannya untuk mencapai public good tidak dikorbankan begitu saja. Dalam konteks terakhir ini, maka diperlukan pemikiran dan langkah terobosan di mana perubahan kelembagaan yang terjadi, misalnya menjadi BHMN atau BHP, tidak merugikan tugas mulia universitas sebagai sebuah public good.

E. Penutup
Dengan berkaca dari berbagai pembahasan di atas, maka konsep Badan Hukum Milik Negara (BHP) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa RUU BHP hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Sebenarnya konsep otonomi kampus bagi pemerintah itu hanyalah satu aspek yakni pembiayaan (anggaran), tapi dalam aspek lain semisal kurikulum, kebebasan berekspresi, dan lain-lain, pemerintah masih mengintervensi. Karena tanggung jawab negara di hilangkan (baca; subsidi pendidikan) maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri dari masyarakat. Bagaimana bentuk penggalian dana tersebut; (1). Dengan mengundang swasta, dalam hal ini korporasi karena merekalah yang punya anggaran. (2). Dengan jalan menaikkan biaya pendidikan karena lembaga pendidikan belum sanggup melakukan diversifikasi penggalian anggaran selain itu.
Kedua dalam Pasal 3 Ayat 4. Pasal 3 Ayat 4 RUU BHP sangat jelas bahwa semangat utama dari UU ini adalah swastanisasi pendidikan (baca;komersialisasi) karena negara dihapuskan tanggung jawabnya dan selanjutnya diserahkan dalam mekanisme pasar. Posisi yayasan dalam lembaga BHP akan di lebur dengan badan yang disebut Majelis Wali Amanat (WMA), didalamnya adalah perwakilan anggota masyarakat (funding).
Ketiga Mutu pendidikan akan sangat buruk karena orientasi pendidikan adalah labour market, sehingga jurusan, study, dan spesialisasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ini semakin meneguhkan pendapat bahwa pendidikan hanya mencetak orang untuk menjadi robot perusahaan industrialis. Di kampus-kampus yang sudah menjalankan konsep BHP, didirikan lembaga yang bernama University Research, yang hak paten penemuannya akan di beli oleh korporasi.

Oleh: Khaerudin

A. Pendahuluan
TERMAKTUBNYA badan hukum pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dalam Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi pro dan kontra di kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan di tanah air.
Kebijakan pemerintah untuk menyeragamkan bentuk hukum penyelenggara pendidikan dimaksudkan agar pendidikan tidak dijadikan ladang usaha dan bisnis untuk memperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya penyelenggaraan pendidikan haruslah turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi pertanyaan, apakah kebijakan tersebut merupakan solusi yang efektif dalam dunia pendidikan?
Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) memang belum ditetapkan. Akan tetapi, sebagian masyarakat yang telah membaca draft RUU tersebut menjadi pesimistis bahwa pembentukan BHP sebagai pelaksana dan penyelenggara pendidikan menjadi jalan keluar yang efektif dan komprehensif untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan nasional, mengingat dunia pendidikan kini sudah pada puncak kemerosotannya.
Di dalam Pasal 2 draf RUU BHP memang disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP sedangkan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat dapat berbentuk badan hukum pendidikan.
Kata dapat sengaja dicetak miring untuk menegaskan bahwa memang yang wajib berbentuk badan hukum pendidikan adalah satuan pendidikan tinggi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pendidikan sehingga terwujud kemandirian serta otonomi pada pendidikan tinggi yang pada akhirnya berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas dan mobilitas.
Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat, yang berbunyi: “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Selain itu, Ayat (4) pasal tersebut menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dibukanya kesempatan masyarakat umum untuk turut serta menyelenggarakan pendidikan memang membawa konsekuensi positif dan negatif. Pengaturan yang membatasi privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah sepatutnya menjadi fokus perhatian kita semua.

B. Persoalan Pendidikan Tinggi
Di perguruan tinggi, konsep otonomi sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.
Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.
Konsep BHP secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis menjadi “dua sahabat” baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi.
Padahal, secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa, berkepribadian handal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Masalah lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi?
Di kebanyakan negara, University Cooperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi aktivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata.
Konsekwensinya, uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi harus dipikul mahasiswa. Penerimaan mahasiswa jalur “patas” menjadi pilihan banyak universitas. Fakta menunjukkan, meskipun pemerintah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih mahal. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi sedikit mendapat pemasukan?
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikan tentang dunia pendidikan kita. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.
Rencana pemerintah membuat Badan Hukum Pendidikan (BHP) menuai reaksi keras dari masyarakat. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-prinsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk.
Di sisi lain, BHP dimaksudkan agar mampu meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan, seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Apakah BHP mampu memajukan pendidikan bangsa ini atau sebaliknya?
Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan. Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri.
Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukakan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri. Namun, model yang ada dalam RUU BHP mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ketidakjelasan sikap pemerintah, meski Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan. RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva. Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan. Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting. Kedua, belum ada program yang jelas.
Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut. Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan. Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis. Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis di korupsi.
Kewajiban pemerintah? Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

C. BHP: privatisasi atau kapitalisasi
Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang bisa “membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Dampak yang langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warga negara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Di samping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Istilah Dirjen Dikti bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah. Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.
Privatisasi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini bisa menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar biaya kuliah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mahal. Alhasil, apabila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari universitas “ecek-ecek”. Dampak nyata dari kebijakan privatisasi PTN adalah merosotnya mutu pendidikan tinggi negeri karena dasar penerimaan mahasiswa baru tidak murni tes, tetapi tawar menawar modal yang disetorkan. Lama-kelamaan PTN-PTN terkemuka dihuni orang-orang di bawah standar, tetapi mampu membayar sumbangan besar. Hal itu akan kian memarjinalkan kaum miskin dari akses pendidikan tinggi yang bermutu.
BHP adalah upaya pengalihan tanggungjawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika RUU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah terlanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Akibat industrialisasi, hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. Dewasa ini penyelenggaraan PT dijauhkan dari diskursus perubahan sosial (Giroux, 2001) dan lebih terfokus melayani secara pragmatis kebutuhan perkembangan ekonomi. Ini membuat pengelola PT tak konsisten. Dampak lebih buruk dari privatisasi PTN adalah hilangnya solidaritas sosial di masa datang. Apabila seseorang masuk fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta, bahkan Rp 1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka untuk kuliah cepat kembali. Maka seharusnya ada peninjauan kembali terhadap RUU BHP sehingga perguruan tinggi, khususnya PTN, menjalankan fungsinya sebagai kampus kerakyatan yang dapat diakses orang miskin. Karena jelas ketika kita bercermin pada pengalaman di empat PTN terkemuka yang proses privatisasinya merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perlu ada suatu pemikiran untuk membangun dan mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi berkualitas. Pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tak mampu dan tak sanggup membayar uang masuk yang mahal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

D. Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi
Peranan perguruan tinggi (PT) sangat dominan karena paling diharapkan oleh masyarakat menjadi motor perubahan. Inovasi teknologi seharusnya datang dari institusi itu, namun sampai saat ini kita menyadari bahwa PT di Indonesia belum mampu diharapkan. Apalagi sebagai motor perubahan, untuk mengejar perubahan pun masih terlalu berat.
Perguruan Tinggi masih banyak dihadapkan pada masalah internal terutama yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, kapasitas, budaya akademik dan manajemen pendidikan. Diperparah lagi dengan kendala dana dan rigiditas penggunaannya. Dinamika perubahan eksternal ternyata lebih banyak menimbulkan kendala bagi pendidikan tinggi daripada peluang.
Perubahan perundang-undangan baik yang secara langsung berkaitan dengan sistem pendidikan maupun yang tidak langsung mempengaruhi kinerja. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional seharusnya memberikan peluang yang sangat luas bagi kebebasan akademik dan pengembangan profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Namun kendala utama adalah pada SDM, budaya akademik dan keterbatasan dana.
Sebagaimana institusi pemerintah yang lain, PT negeri dalam pengelolaan keuangannya harus mengikuti sistem pengelolaan keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002. Berdasarkan sistem pengelolaan keuangan, yang walaupun tujuannya sangat baik, yaitu dalam rangka transparansi pengelolaan, menimbulkan kesulitan yang sangat berarti bagi pendidikan tinggi. Hal itu karena sering tidak match dengan kegiatan operasional pendidikan tinggi yang memerlukan sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Oleh karenanya diperlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu menjamin fleksibilitas perguruan tinggi, agar perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang sangat dinamis dan cenderung turbelensi.
Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) menawarkan solusi akan fleksibilitas tersebut. Apabila PT sudah menjadi badan hukum, maka perguruan tinggi diberi wewenang untuk menggali sumber- sumber dana secara lebih fleksibel, demikian juga penggunaannya. Banyak pihak yang mengartikan BHP dengan kemandirian dalam arti sempit. Banyak orang mengartikan dengan BHP, perguruan tinggi harus mampu self financing.
Seluruh lembaga yang ada di PT tersebut diarahkan untuk mampu menghasilkan uang untuk pengembangan institusi. Sering diartikan juga bahwa setelah BHP, pemerintah tidak lagi banyak memberikan subsidi lagi sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan beban SPP mahasiswa. Sebetulnya hal tersebut tidak seluruhnya benar. Jadi walaupun PT sudah menyatakan menjadi BHP, subsidi pemerintah tetap akan diberikan.
Bahkan untuk dunia pendidikan sesuai dengan amanat UUD, anggaran pendidikan secara bertahap akan naik sampai 20 % dari APBN. Demikian juga untuk Pemerintah Daerah, nantinya juga secara bertahap akan ada alokasi APBD untuk dunia pendidikan sampai 20 %. Pertanyaannya adalah mengapa Banyak Perguruan Tinggi yang seolah-olah menunda untuk menjadi BHP.
Beberapa hal memang harus dipertimbangkan secara masak apabila kita akan BHP. Terutama yang berkaitan dengan masalah SDM dan kultur akademik. Karena dalam BHP ada perubahan yang sangat mendasar yang harus diterima oleh komponen-komponen stake - holder dari PT. Misalnya nanti akan ada Wali Amanah yang mempunyai kewenanganan untuk merumuskan arah kebijakan yang selama ini diambil oleh Senat . Oleh karena itu nantinya tidak semua Guru Besar otomatis menjadi Senat Akademik Perguruan Tinggi.
Apabila sudah menjadi BHP, diperlukan juga kesiapan untuk menerima orang luar sebagai pengelola. Kesiapan unit-unit (baik fakultas maupun unit-lain di lingkungan uiversitas) untuk responsif terhadap dinamika pasar. Hal ini mengingat keterbatasan kemampuan uiversitas untuk melakukan subsidi silang.
BHP juga memerlukan kesiapan lembaga (walaupun tidak seluruhnya) untuk tidak selalu menjadi cost centre.Kalau bisa justru menjadi profit centre. Persiapan inilah terutama yang harus dilakukan agar PT dapat menjadi BHP secara baik.
Di samping itu ada persyaratan-persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya persyaratan administrasi, harus mampu melakukan identifikasi aset yang dimiliki dan sebagainya. Kontroversi dan perdebatan tentang rencana perubahan kelembagaan universitas atau pendidikan tinggi umumnya menjadi badan hukum pendidikan (BHP) masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan kelembagaan universitas menjadi BHP telah dirumuskan dan dibahas di kalangan perguruan tinggi, maupun kalangan lainnya, khususnya DPR. Tetapi, tampaknya, kian dikaji kian meningkat pula kontroversi tersebut.
Kalangan penentang RUU BHP mencemaskan perubahan perguruan tinggi menjadi BHP sebagai kecenderungan lebih lanjut dari komodifikasi dan komersialisasi pendidikan. Kecemasan yang berlanjut menjadi penentangan terhadap konsep BHP itu pada dasarnya bersumber dari pengamatan kalangan publik atas pengalaman beberapa universitas negeri yang sejak tahun 2000 berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Kini ada tujuh perguruan tinggi negeri yang telah menjadi BHMN: UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU, dan terakhir Universitas Airlangga.
Meski niat dan tujuan perubahan universitas negeri tersebut menjadi BHMN, antara lain, adalah untuk membuat mereka menjadi lebih otonom dalam berbagai aspek pengelolaannya, tetapi apa yang dilihat publik adalah kian meningkatnya berbagai pembiayaan untuk belajar di perguruan tinggi negeri BHMN, khususnya. Karena itulah, banyak kalangan publik melihat bahwa perubahan tersebut tidak lain hanyalah komodifikasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, khususnya yang diselenggarakan negara melalui perguruan tinggi negeri.
Kecenderungan pendidikan tinggi menjadi sebuah komoditas yang mencakup proses komersialisasi dan bahkan ‘marketization’ pada dasarnya bertentangan dengan gagasan, wacana, dan konsep tentang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai sebuah public good, kebajikan publik. Pendidikan tinggi khususnya dalam konteks sebagai sebuah public good memang bertugas bukan hanya untuk melaksanakan proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi juga membentuk kepribadian dan watak anak didik dan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good bisa terlihat antara lain dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, pendidikan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan guna mencapai tingkat dan harkat kehidupan lebih baik. Lebih jauh, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan semangat patriotisme dan kebangsaan, cinta Tanah Air, solidaritas sosial, dan orientasi masa depan. Begitu luhur dan mulianya; pendidikan sebagai public good tidak hanya bermanfaat bagi individu-individu, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Universitas di Tanah Air sebagai public good terlihat dari tugas pokoknya yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sehingga para lulusannya dapat menjadi SDM yang unggul. Dan universitas lebih-lebih lagi menjadi public good ketika ia juga diharapkan menjadi kekuatan moral dalam mendukung pembangunan nasional.
Karena itu, sebagai public good semestinyalah pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi tanggung jawab negara, tidak hanya dari segi kurikulum, tetapi juga dalam pembiayaannya. Masih dalam kerangka berpikir itu, negara seharusnya tidak membiarkan public good menjadi komoditas, dan melepaskannya kepada hukum pasar yang cenderung membuatnya menjadi entitas swasta (private entity) belaka. Proses-proses ini tidak lain hanya membawa pendidikan tinggi ke arah marketization dan komodifikasi.
Inilah keprihatinan publik. Dan, keprihatinan tersebut tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di hampir seluruh kawasan dunia. Gejala transisi pendidikan tinggi sebagai public good menjadi private entity yang melibatkan proses marketization dan komodifikasi juga telah lebih dahulu dan kini sedang dan terus berlangsung semakin lebih intens di berbagai penjuru dunia.
Dalam Senior Seminar yang diselenggarakan East-West Center, Honolulu, Hawaii, pada 6-11 September 2006. Senior Seminar yang bertajuk ”The Tension between Education as a Public Good and Education as a Private Commodity” merupakan bagian dari The International Forum for Education 2020 East-West Center, untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan dalam beberapa dasawarsa mendatang. Pengalaman pendidikan tinggi Indonesia dalam transisi seperti itu, kompleksitas dalam dinamika pendidikan tinggi di berbagai tempat di muka bumi ini. Di tengah kompleksitas itu, satu hal kelihatannya sulit dielakkan; universitas tetap mengemban amanah sebagai public good. Universitas boleh saja menjadi milik pemerintah maupun swasta, tetapi misi dan tujuannya untuk mencapai public good tidak dikorbankan begitu saja. Dalam konteks terakhir ini, maka diperlukan pemikiran dan langkah terobosan di mana perubahan kelembagaan yang terjadi, misalnya menjadi BHMN atau BHP, tidak merugikan tugas mulia universitas sebagai sebuah public good.

E. Penutup
Dengan berkaca dari berbagai pembahasan di atas, maka konsep Badan Hukum Milik Negara (BHP) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa RUU BHP hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Sebenarnya konsep otonomi kampus bagi pemerintah itu hanyalah satu aspek yakni pembiayaan (anggaran), tapi dalam aspek lain semisal kurikulum, kebebasan berekspresi, dan lain-lain, pemerintah masih mengintervensi. Karena tanggung jawab negara di hilangkan (baca; subsidi pendidikan) maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri dari masyarakat. Bagaimana bentuk penggalian dana tersebut; (1). Dengan mengundang swasta, dalam hal ini korporasi karena merekalah yang punya anggaran. (2). Dengan jalan menaikkan biaya pendidikan karena lembaga pendidikan belum sanggup melakukan diversifikasi penggalian anggaran selain itu.
Kedua dalam Pasal 3 Ayat 4. Pasal 3 Ayat 4 RUU BHP sangat jelas bahwa semangat utama dari UU ini adalah swastanisasi pendidikan (baca;komersialisasi) karena negara dihapuskan tanggung jawabnya dan selanjutnya diserahkan dalam mekanisme pasar. Posisi yayasan dalam lembaga BHP akan di lebur dengan badan yang disebut Majelis Wali Amanat (WMA), didalamnya adalah perwakilan anggota masyarakat (funding).
Ketiga Mutu pendidikan akan sangat buruk karena orientasi pendidikan adalah labour market, sehingga jurusan, study, dan spesialisasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ini semakin meneguhkan pendapat bahwa pendidikan hanya mencetak orang untuk menjadi robot perusahaan industrialis. Di kampus-kampus yang sudah menjalankan konsep BHP, didirikan lembaga yang bernama University Research, yang hak paten penemuannya akan di beli oleh korporasi.